Pages

Saturday 6 April 2013

3 Places in One Day Travelling at Cianjur

Situs Megalitikum Gunung Padang

Akhirnya bisa jalan-jalan menikmati Indonesia lagi. Perjalanan ini diawali dengan penemuan ga disengaja di salah satu website tour agent. Perjalanan ini ga pernah direncanakan sebelumnya, saya bahkan awalnya belum pernah mendengar tentang tempat wisata ini. Tapi setelah browsing sana sini tentang Gunung Padang, melihat tujuan yang ga terlalu jauh, cukup memakan waktu sehari, dan ga butuh biaya besar, akhirnya sekitar H-7, saya dan teman-teman memesan 4 seat terakhir yang tersisa.

Daan, ga seperti weekend biasanya yang memanfaatkan tidur dengan sebaik-baiknya, Sabtu pagi ini saya bangun pagi-pagi sekali dan langsung bersiap berangkat ke meeting point di Kampus Atmajaya, Semanggi. Sesuai informasi yang saya lihat di website, kami diminta berkumpul pukul 06.30. Saya berangkat pukul 05.30 dan masih ada waktu sekitar 15-30 menit sebelum keberangkatan, pikir saya. Dengan tenang saya berangkat dengan menggunakan kopaja dan busway. Tapi ditengah jalan keadaan berubah ketika teman-teman ribut kenapa saya belum datang. Saya heran dan mikir meraka terlalu heboh, toh watunya kan masih lama. Tapi setelah saya cek lagi chat whatsapp kemarin, ternyata informasinya berbeda. Jadwal pertemuannya ga sesuai dengan yang di website, tapi dimajukan jadi jam 05.30. TARA! Cuma bisa nelen ludah (٥"‾‾).

Untungnya sampai saya datang rombongan belum berangkat, dan saya bukan yang terakhir. Hehehe.. Dengan 2 mobil elf, jam 06.30 kami langsung berangkat ke Cianjur. Ternyata waktu perjalanan jauh lebih lama dari yang dijadwalkan. Dari 2 jam perjalananan berubah menjadi 4,5 jam karena macet di tol yang tidak terduga (?). Hampir tengah hari kami baru sampai ke tujuan pertama kami, Terowongan Lampegan.
Terowongan Lampegan (This picture belong to my friend Luwi 

Foto bersama peserta Bandar Wisata di depan Stasiun Lampegan

Sesuai dengan namanya, terowongan kereta api ini berada di Desa Lampegan yang berada tidak jauh dari Stasiun Lampegan. Begitu datang, kami langsung diajak berfoto bersama di depan Stasiun Lampegan, kemudian lanjut berjalan menyusuri terowongan sambil diceritakan mengenai sejarahnya. Terowongan kereta api tertua di Indonesia ini terletak di lintas kereta api yang menghubungkan Bandung – Cianjur – Sukabumi. Terlihat pada bagian atas, Terowongan Lampegan dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara Staat Spoorwegen pada jaman Pemerintahan Belanda tahun 1897 – 1882. Beberapa tahun lalu, karena adanya rembesan air dan longsor, terowongan sempat runtuh beberapa kali. Meskipun tahun 2010 lalu sudah direnovasi kembali sesuai dengan aslinya, namun saat ini Terowongan Lampegan di non-aktifkan.




Menyusuri Terowongan Lampegan
Kami berjalan ke dalam terowongan sepanjang 687 meter tersebut. Semakin ketengah semakin sedikit cahaya yang masuk, semakin gelap gulita dan semakin dingin. Sepanjang rel di dalam terowongan becek dan di beberapa titik air menetes dari bagian atas terowongan. Cahaya dari ujung lain terowongan terlihat dekat, tapi terasa cuma ilusi. Setelah sekitar setengah perjalanan tercium bau-bauan 'unik'. Agak nyesek juga mat serasa ditutup sekarang hidung juga. Ternyata eh ternyata ada sarang kelelawar yang anteng nemplok di atap terowongan. Hati-hati dapat jackpot (baca: pup kelelawar) yang bertebaran di terowongan yang super gelap ini ƪ(˚˚)ʃ. Hahaha.

Ga tau kenapa, tapi saya seneng banget begitu sampai di ujung terowongan, ketemu cahaya lagi. Saya bukan termasuk orang yang takut gelap, tapi terowongan ini, entah kenapa, gelap dan suasananya agak bikin saya kliyengan sendiri. Begitu semua peserta rombongan keluar, kami diajak foto-foto bareng lagi. Hehehe, narsis juga nih travel agent. Begitu selesai berfoto, kami kembali lagi menyusuri terowongan tua yang sudah tidak difungsikan ini. Hahaha agak absurd juga buat saya yang kurang nyaman dengan bagian dalam terowongan ini, which is mau keliling berkali-kali juga kita nyaris ga bisa melihat apapun didalamnya.

Sisi masuk terowongan ini, menurut saya, lebih menarik. Niatnya kami akan berfoto di sisi ini. Tapi situasi berkata lain begitu kami kembali ke sisi kami masuk. Hujan. Padahal diujung satunya tempat kami berfoto tadi matahari muncul cerah ceria. Hmm.. serasa masuk di terowongan penghubung dua dunia terbalik tongue *virus khayalannya kumat*. Kondisinya memang diluar harapan, hujan dan waktu yang sempit. Selesai ishoma, kami langsung buru-buru ke lokasi kedua, Situs Megalitikum Gunung Padang, situs yang menurut para arkeolog merupakan situs megalitik tertua dan terbesar se-Asia Tenggara.

Meskipun namanya Gunung Padang, Gunung ini berada di Cianjur. Butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dari Terowongan Lampegan. Suguhan pemandangan pegunungan dengan hamparan kebun teh yang menyenangkan sepanjang perjalanan berbanding terbalik dengan kondisi jalan. Jalanan berbatu. Terutama terasa sekali bagi saya dan ketiga teman saya - AnnissaPuspa dan Luwi - yang duduk dibagian paling belakang mobil. Rasanya isi perut lagi diblender. Sampai akhirnya kami melihat gapura wisata Situs Megalitikum Gunung Padang. Yaiyh! ‘Penderitaan’ sementara berakhir \("´`)/

Gerbang Situs Megalitikum Gunung Padang
2 pilihan tangga nestapa menuju Situs Megalitikum

Hujan belum reda. Saya sendiri cuma bermodalkan jaket dan topi, tapi ga menyurutkan semangat untuk menikmati perjalananan ini. Setelah berfoto (lagi) di depan gapura wisata, kami langsung tracking menuju ke pintu loket Situs Megalitikum. Disepanjang jalan mulai dari parkiran hingga loket berjajar warung, toko souvenir, dan fasilitas umum seperti musholla dan toilet umum. Harga tiket masuk ke lokasi wisata ternyata murah sekali, sama dengan tarif Kopaja, cukup Rp. 2000 untuk wisatawan domestik.

Belum juga sampai di kaki tangga, nafas sudah ngos-ngosan. Begini nih kalau lama ga pernah tracking + ga pernah olah raga + belakangan jadi anak pantai. Nyehehe.. 

Perjuangan masih panjang kawan. Dari sini kita menggunakan anak tangga untuk menuju Situs Megalitikum. Ada 2 jenis tangga, di sisi kanan adalah tangga buatan sepanjang sekitar 700 anak tangga, sedangkan disebelah kiri terdapat tangga alami yang terbuat dari batu-batu persegi besar sepanjang sekitar 400 anak tangga. Perbedaannya hampir 2 kali lipat! Pasti mau pilih yang 400 donk, lebih sedikit dan lebih cepat sampai. Tapi eits, tunggu dulu. Tangga alami, meskipun ‘hanya’ sekitar 400 anak tangga, jalurnya yang curam dan bebatuannya yang cukup tinggi, ditambah gerimis membuat kita perlu mengerahkan tenaga super ekstra untuk bisa sampai keatas. Sedangkan tangga buatan cukup ‘santai’, tidak curam dan tinggi cenderung landai. Jadi, mau pilih yang mana?


Tangga alaminya bener-bener ga nyantai man!
Meskipun kondisi yang cukup menyulitkan, kami toh akhirnya tetap memilih ‘jalur cepat’. Hehehe. Angka 700 rasanya agak serem dibayangkan. Baru beberapa anak tangga kami melangkah, sudah langsung terasa dan terlihat betapa curamnya tangga alami ini. Sepanjang jalan nyaris tanpa pegangan tangga dan beberapa bagian agak licin karena hujan. Belum lagi saya salah pakai sepatu. Saya ga membayangkan lokasinya mengharuskan kami tracking dan ditambah gerimis begini. Si Luwi yang sempat berhenti lama ternyata sudah kliyengan mau pingsan. Heleuh.. ga kelihatan di mukanya. Ahehehe. Dengan perjuangan ekstra, akhirnya kami sampai juga di atas, di lokasi Situs Megalitikum.
Melihat pemandangan dari sini rasanya indah sekali big hug. Terlihat hamparan hijau pepohonan, kabut, dan awan-awan tipis. Di bagian pelataran bertebaran batu-batu andesit besar berbentuk balok yang terlihat acak namun berpola. Terasa ada tangan arsitek yang ikut bermain untuk membangun suatu ‘hunian’ di sini. Di bagian puncak bukit terlihat satu pohon yang menjulang gagah, paduan bentuk kayu dan warna dedaunannya keren sekali bagi saya.


Saya dan Tiga Teman Nge-bolang
Teteup~ eksis ˆ)9

Dengan kompleks ‘bangunan’ seluas kurang lebih 900 m2 dan areal situsnya yang mencapai 3 Ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Fungsi Gunung Padang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana sekitar 2000 tahun S.M. Menurut informasi dari guide setempat, situs megalitik tersebut terbagi menjadi 5 pelataran/tingkat. Hanya dari pelataran pertama ke pelataran kedua yang tampak tinggi, sedangkan dari pelataran kedua ke pelataran ketiga dan seterusnya masing-masing hanya berketinggian sekitar satu meter. Batu-batuan andesit yang terlihat bertebaran secara acak sebenarnya berdiri layaknya ‘istana piramida’. Terdapat bebatuan yang menyerupai singgasana, beberapa batuan juga terdapat ukiran, ada yang menyerupai Kujang, senjata tradisional Sunda, hingga berupa tapak kaki raksasa. Ada bebatuan yang juga dipercayai dahulunya adalah alat musik dimana masing-masing batu mengeluarkan suara tersendiri. Saya sih belum melihat dimana ‘batu musik’ yang dimaksud.

Sayang dengan lokasi yang menarik seperti ini hanya bisa berfoto seadanya, hujannya masih belum mau berhenti. Setelah berteduh sambil beristirahat di bawah pohon, kami lanjutkan berjalan di sisi baliknya. Jalannya semakin sulit karena licin tanpa batu-batu kasar untuk berpijak. Sepatu saya nyaris hilang bentuk. Daan.. ternyata masih banyak bertebaran situs-situs bebatuan di sisi ini dan terdapat warung dan rumah kayu untuk beristirahat dan menikmati pemandangan. Hmm tahu begini tadi istirahat di sini. Hehehe. Setelah keliling dan jepret sana sini, kami memutuskan untuk kembali. Kali ini kami memilih lewat tangga buatan. Rasanya lebih serem kalau harus turun lewat tangga alami, belum lagi teman saya si Puspa tangan kirinya masih digendong setelah operasi patah tulang. Well, memang terasa panjang, tapi ternyata memang sedikit lebih santai lewat tangga ini. Meskipun begitu, sampai di tengah jalan kaki saya sudah mulai gemetaran. Dari kaki tangga menuju ke lokasi parkir, saya termasuk orang-orang terakhir sampai. Jalannya yang menurun dan super licin karena hujan dengan sepatu flat shoes dan kaki yang sudah gemetaran membuat saya berjalan sangat pelan. Ehm, tulang-tulang kaki ini pasti shock deh.

Hari sudah sore, setelah membersihkan kaki dan sepatu, kami mengejar ke tujuan terakhir, Curug Cikondang. Keadaan yang sama, jalan menuju ke sana masih berupa jalan tanah berbatu dan begitu sampai ternyata lokasinya seolah tidak sengaja dipersiapkan untuk lokasi wisata. Kami parkir di (semacam) halaman rumah warga, untung masih bisa menumpang kamar mandi dan ada musholla kecil yang berada di bagian luar rumah. Kamar mandinya sendiri tanpa atap, tanpa lampu, dan.. tanpa pintu! Hwahaha.. jackpot bener yah. Tenang, masih ada sedikit penutup berupa sarung pendek yang dikaitkan ke masing-masing sisi.






Curug Cikondang (This picture taken by Luwi) 

Annissa dan Puspa memutuskan tidak ikut turun. Saya dan Luwi memutuskan untuk terus lanjut, kepalang tanggung kan sudah sampai sini. Perjalanan menuju curug dengan pemandangan sisi lain gunung dan sawah. Tidak terlalu panjang seperti perjalanan ke Situs Megaltikum, tapi sama licinnya karena jalanan setapak dengan bebatuan di bagian tengah. Dari jauh terlihat arus sungainya yang cukup deras dan semakin mendekat semakin terdengar suara arusnya yang deras. Benar saja, begitu sampai kami hanya bisa melihat curug dengan aliran airnya yang besar dan deras. Airnya agak keruh kecokelatan karena hujan sepanjang hari. Kami juga tidak bisa turun, hanya foto seadanya. Matahari juga sudah mulai terbenam. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung kembali. Di sini sepatu saya akhirnya berontak, salah satu sisi lapisan bawahnya terbuka nyaris lepas. Hyaah.. sudahlah. Memang salah pakai sepatu.

Setelah membersihkan kaki dan sepatu, sekitar 18.30 kami kembali ke Jakarta. Seharusnya menurut jadwal, jam 19.00 malam kita sudah sampai di Jakarta. Dalam keadaan begini ga mungkin kan setengah jam sampai Jakarta. Hehehe. Kami baru sampai Jakarta sekitar pukul 11 malam. Well, this is it one day travelling. Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga - terutama kaki, tapi cukup menyenangkan dan jadi suasana baru setelah akhir-akhir ini sering ‘berpantai-ria’. Dan yang pasti ga pakai menguras otak dan dompet big grin.

Next, mana lagi ya?

No comments:

Post a Comment